Menyerahkan hidup kepada Tuhan Yesus adalah pengorbanan yang membahagiakan.
Itu bukan hanya kata-kata biasa dari sesorang untuk seseorang, tetapi adalah
pengalaman hidup saya yang sebenarnnya. Sebelumnya saya selalu berpikir bahwa
pengorbanan pasti menyakitkan seperti yg sering saya perhatikan dalam kehidupan
keagamaan saya sebelum mengenal Tuhan Yesus. Saya melihat binatang yang
dikorbankan dan mendengar jeritan ketakutan dalam kesakitannya saat menjalani
situs pengorbanan.
Rasa kasihan, saya abaikan dengan membentuk
pengertian bahwa sudah seharusnya binatang tersebut dikorbankan. Tetapi kadang
kala timbul dalam pikiran saya kebanggaan akan pengorbanan binatang tersebut.
Dia bukan mengorbankan dirinya tapi dia dikorbankan dengan paksa dan dia diam
menyerah.
Setelah saya menikah,
pengertian tentang pengorbanan begitu mempengaruhi hidup saya. Saya memahami
artinya pengorbanan ketika saya harus mengorbankan agama saya dan hubungan
dengan orang tua serta saudara-saudara saya demi menerima pengorbanan Tuhan
Yesus. Saya memang berkorban tetapi tidak sebanding dengan pengorbanan Tuhan
Yesus yang besar bagi saya.
Dalam pernikahan, saya
bangga memiliki satu Tuhan, satu gereja, satu suami, dan satu anak yg sangat
saya kasihi. Saya ingin anak saya menikmati kehidupannya dengan bahagia. Saya
ingin dia bersekolah dengan baik dan memiliki teman-teman yang baik. Saya
memang tidak memiliki sesuatu yg berlebihan apalagi berkelimpahan. Saya bekerja
dan melakukan apa saja untuk keluarga saya terutama anak saya. Saya rela
melakukannya termasuk menyerahkan nyawa saya seandainya itu harus. Saya tidak
merasa bahwa itu adalah pengorbanan.
Tetapi kalaupun itu adalah pengorbanan maka saya
tidak akan menuntut dia melakukan hal yang sama seperti yang saya
lakukan.Tujuan saya hanyalah agar anak saya bahagia dan mengetahui bahwa Tuhan
Yesus yang kami sembah adalah Tuhan yang tidak dapat digantikan oleh apapun.
Saya tahu bahwa suami dan
sayalah yang harus membahagiakan anak saya seperti yang telah saya alami dengan
Tuhan Yesus. Saya bahagia menyerahkan hidup saya kepada-Nya, bukan untuk
kebahagiaan Tuhan (karena saya tidak dapat membahagiakan-Nya) tetapi demi
kebahagiaan saya sendiri. Tuhan Yesus pasti menghendaki saya bahagia bukan
hanya seumur hidup tapi selamanya. Itulah sebabnya Dia dengan rela mengorbankan nyawa-Nya untuk
saya karena kehendak kasih-Nya sendiri.
Jika saya bahagia mengorbankan hidup saya untuk anak saya, itu bukan
karena saya bisa, tetapi karena saya belajar dari pengorbanan Tuhan Yesus yang
sungguh indah dan luar biasa, sehingga saya tahu pengorbanan saya tidak akan
sia-sia.